Friday 18 July 2014

Latar Belakang Lahirnya Ahlus Sunnah Wal Jama’ah

     Latar Belakang Lahirnya Ahlus Sunnah Wal Jama’ah

Ketika Nabi SAW wafat, kaum muslimin masih bersatu dalam agama yang mereka jalani. Klasifikasi sosial yang ada pada saat itu terdiri dari 3 golongan, yaitu orang muslim, orang kafir, dan orang munafik. Namun begitu Nabi wafat, perselisihan diantara mereka terjadi tentang pemimpin yang akan menjadi pengganti Nabi SAW. Namun akhirnya, kekuatan kepemimpinan para sahabat Nabi tersebut mengalahkan semua ambisi dan fanatisme kesukuan, sehingga menggiring mereka pada kesepakatan untuk memilih Abu Bakar As-Shidiq sebagai kholifah. Setelah Ia wafat, khilafah berpindah tangan Umar bin Khatab, sahabat Nabi terbaik setelah Abu Bakar. Hingga akhirnya khalifah Umar menemui ajalnya setelah ditikam oleh seorang budak Persia, yaitu Abu Lu’lu’ah al-Majusi. Setelah ia wafat, khilafah berpindah ketangan kholifah Utsman bin Affan, menantu Nabi SAW. Ia dibaiat sebagai kholifah berdasarkan hasil rapat tim formatur  yang dibentuk oleh Umar  menjelang wafatnya.
Setelah 6 tahun dari masa pemerintahan Utsman, friksi internal dan gejolak politik seputar kebijakan-kebijakan Utsman mulai muncul kepermukaan dan menjadi sasaran kritik sebagian masyarakat. Dalam kondisi tersebut, unsur-unsur Majusi dan Yahudi ikut bermain dalam mengeruhkan suasana, sehingga lahirlah berbagai kekacauan dan beragam propaganda dengan membawa kepentingan menurunkannya dari jabatan melalui amr ma’ruf dan nahi mungkar, sehingga hal tersebut barakhir dengan terbunuhnya kholifah Utsman ditangan kaum pemberontak.
Khilafah berpindah tangan ke Ali bin Abi Tholib, menantu dan sepupu Nabi serta sahabat terbaik setelah wafatnya Utsman. Namun beragam kekacauan yang terjadi pada Utsman sangat berpengaruh terhadap pemerintahan Ali bin Abi Tholib. Pada masa pemerintahannya terjadi perang saudara besar-besaran antara Ali dengan kelompok Aisyah, Tholhah, dan Zubair dalam perang jamal, kemudian terjadi perang shiffin dengan kelompok Muawiyah bin Abi  Sofyan.
Pada masa pemerintahannya, muncul satu kelompok dari pengikut Ali yang memisahkan diri dan kemudian dinamakan dengan aliran khowarij. Mereka mendefinisikan iman dengan keyakinan yang disertai pengamalan, sehingga keyakinan tidaklah berguna ketika tidak disertai pengamalan. Oleh karena itu, khowarij mengkafirkan pelaku dosa. Khowarij berpandangan bahwa Utsman, Ali, Aisyah, Tholhah, Zubair, Muawiyah, dan pengikut mereka dalam perang Jamal dan Shiffin adalah kafir. Khowarij hanya mengakui kholifah Abi Bakar dan Utsman.
Pada masa Ali, lahir juga aliran Sabaiyah dari kalangan Rafidhah (Syi’ah) yang dipimpin oleh Abdulloh bin Saba’. Mereka berpandangan bahwa Ali adalah Tuhan. Ajaran Abdulloh bin Saba’ ini dilanjutkan oleh golongan syiah yang terpecah menjadi 3 golongan besar, yaitu Imamiyah, Zaidiyah, dan Ismailiyah. Kelompok syiah yang ekstrim seperti Imamiyah dan Ismailiyah mengkafirkan seluruh sahabat Nabi kecuali empat orang.
Setelah benturan pemikiran antara Syi’ah dan Khowarij semakin keras pasca proses arbitrase antara Ali dan Mu’awiyah. Situasi tersebut menjadi sebab lahirnya satu kelompok yang netral (tidak memilih antara pihak manapun). Menurut kelompok  ini, ketika kita tidak dapat menentukan mana pihak yang salah dan mana yang benar, maka kita harus mengembalikan persoalan ini kepada Allah. Dengan pandangan ini, kelompok tersebut akhirnya dinamakan aliran Murji’ah (kelompok yang mengembalikan persoalan kepada Allah).
Pada akhir generasi sahabat, lahir aliran Qadariyah  yang dipimpin oleh Ma’bad al-Juhani, Ghailan al-Dimasyqi dan Ja’ad bin Dirham. Kelompok ini berpandangan bahwa perbuatan manusia terjadi karena rencana sendiri bukan karena takdir Allah. Pendangan mereka menuai  penolakan keras dari kalangan sahabat yang masih hidup pada saat itu, seperti Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, dan lain sebagainya.
Pada masa al-Imam al-Hasan Al-Bashri lahir kelompok Mu’tazilah yang dirintis oleh Atho’ al-Ghazzal yang membawa faham manzilah baina al manzilataini (tempat antara dua tempat). Aliran ini berpandangan bahwa seorang muslim yang fasik tidak dikatakan mukmin dan tidak dikatakan kafir dan diakhirat nanti dia akan kelak dineraka bersama dengan orang-orang kafir. Selain aliran tersebut diatas muncul aliran Najjariyah, Karramiyah dan Wahhabi.

Berdasarkan data sejarah yang ada, setelah terjadinya fitnah pada masa kholifah Utsman bin Affan  kemudian aliran-aliran  yang menyimpang dari ajaran islam yang murni dan asli bermunculan satu persatu, maka pada periode akhir generasi sahabat Nabi SAW istilah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah  mulai diperbincangkan dan dipopulerkan sebagai nama bagi kaum muslimin yang masih setia kepada ajaran islam yang murni dan tidak terpengaruh dengan ajaran-ajaran baru yang keluar dari mainstrem. Hal ini dapat dibuktikan dengan memperhatikan beberapa riwayat yang menyebutkan bahwa istilah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah  diriwayatkan dari sahabat Nabi generasi junior (sighor al-shohabah) sepert Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan Ibnu Sa’id al-Khurdi. 

No comments:

Post a Comment